skip to main | skip to sidebar

Pages

11 Nov 2010

Sandal Jepit Istriku….

0 comments


Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. “Ummi… Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku kalem. “Iya… tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak. *** 


Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. “Ummi…ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah…?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis…,” batinku berkata dalam hati. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak. ***


 Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku. *** 


Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku…? Semoga berguna bagi kita semua….amin ya rabbal alamien takenfromnet……Buat para mujahid dakwah..renungkanlah kisah sandal jepit ini,dan tanyalah hati kita sejauh mana perhatian kita (bukan hanya soal sandal dll) terhadap sosok makhluk bernama istri di tengah2 kesibukan kita…tanya?

18 Oct 2010

Ketika Aku Dimakamkan Dihari ini

0 comments


Ketika Aku Dimakamkan dihari Ini

Perlahan, tubuhku ditutupi tanah,

perlahan, semua pergi meninggalkanku,

masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,

aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,

sendiri, menunggu keputusan…Saudara, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,

Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,

Apalah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat, rekan bisnis, atau orang-orang lain,

Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.Saudaraku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,

Keluargaku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,

Tangan kananku menghibur mereka,

kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,

tetapi aku tetap sendiri,

disini, menunggu perhitungan …

Menyesal sudah tak mungkin,

Tobat tak lagi dianggap,

dan ma’af pun tak bakal didengar,

aku benar-benar harus sendiri…

Yaa.. Rabb-ku (entah dari mana kekuatan itu datang,

setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),

jika Kau beri aku satu lagi kesempatan,

jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu, beberapa hari saja…

Aku akan berkeliling, memohon ma’af pada mereka,

yang selama ini telah merasakan zalimku,

yang selama ini sengsara karena aku,

yang tertindas dalam kuasaku,

yang selama ini telah aku sakiti hatinya

yang selama ini telah aku bohongi

Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,

yang kukumpulkan dengan wajah gembira,

yang kukuras dari sumber yang tak jelas,

yang kumakan, bahkan yang kutelan.

Aku harus tuntaskan janji-janji palsu yg sering ku umbar dulu.

Dan Yaa Rabbil Izzati,

beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,

untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta,

teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka,

maafkan aku ayah dan ibu,

mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu …

beri juga aku waktu,

untuk berkumpul dengan saudara dan kerabatku,

untuk sungguh-sungguh beramal soleh,

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu,bersama mereka …

begitu sesal diri ini,

karena hari-hari telah berlalu tanpa makna penuh kesia-siaan,

kesenangan yang pernah kuraih dulu,

tak ada artinya sama sekali …

mengapa ku sia-siakan saja,

waktu hidup yang hanya sekali itu,

andai ku bisa putar ulang waktu itu …

Aku dimakamkan hari ini,

dan semua menjadi tak terma’afkan,

dan semua menjadi terlambat,

dan aku harus sendiri,

untuk waktu yang tak terbayangkan …











andreanelfachri

4 Oct 2010

0 comments


Untuk Calon Suami, renungkanlah...
 
Pernikahan menyingkap tabir rahasia

Sesungguhnya istri yang engkau nikahi
Tidaklah semulia Khadijah Khuwailid
Tidaklah setaqwa Al Humairo'
Pun tidak setabah Az Zahro

Justru istrimu hanyalah wanita akhir zaman yang berasa menjadi sholihah

Pernikahan mengajari kita kewajiban bersama

Istri menjadi bumi dan engkau langit yang menaunginya
Istri dikiaskan sebagai ternak dan engkaulah gembalanya
Istri adalah makmum dan engkau imamnya
Saat istri menjadi madu, teguklah sepuasmu
Ketika istri menjadi racun, tawarkanlah bisanya
Istri adalah tulang yang bengkok, berhati-hatilah bila meluruskannya

Pernikahan menyadarkan kita

Tentang perlunya iman dan taqwa
Untuk belajar merenda kesabaran
Dalam meraih Ridho Allah Ta'ala
Karena memiliki istri yang tak sebaik Ummahatul Mukminin
Justru akan menyadarkan dirimu dari khilaf

Engkau bukanlah Rasulullah SAW
Bukan pula Imam 'Ali Karomallahu wajhah

Namun engkau adalah...
Suami akhir zaman yang berusaha untuk menajdi sholih

Dan Untuk Calon Istri, renungkanlah...
Pernikahan membuka tabir rahasia

Sesungguhnya suami yang menikahimu
Tidaklah semulia Muhammad ibn Abdullah
Tidaklah setaqwa Ibrahim 'Alaihissalam
Tidak pula setabah Ayyub 'Alaihissalam
Atau pun segagah Musa 'Alaihissalam
Apalagi setampan Yusuf 'Alaihissalam

Justru suamimu hanyalah lelaki akhir zaman yang berasa membangun keturunan yang sholih

Pernikahan mengajari kita kewajiban bersama

Suami sebagai rumah dan engkau penghuninya
Suami adalah nahkoda dan engkau navigatornya
Suami bagaikan anak kecil yang nakal dan engkau adalah penuntun kenakalannya
Saat suami menjadi raja nikmatilah kemegahan singgasananya
Ketika suami menjadi bisa tawarkanlah racunnya
Seandainya suami menjadi pengemudi yang lancang sabarlah saat memperingatkannya

Pernikahan menyadarkan kita

Tentang perlunya iman dan taqwa
Untuk belajar merenda kesabaran
Dalam meraih Ridho Allah Ta'ala
Karena memiliki suami yang tak sebaik para Anbiya'
Justru akan menyadarkan dirimu dari khilaf

Engkau bukan Khodijah yang begitu sempurna dalam menjaga
Bukan pula Ibunda Hajar yang sangat setia dalam sengsara

Namun engkau adalah...
Istri akhir zaman yang berusaha untuk menajdi sholihah


Ya Robby,
Hidup hanya sekali, izinkanlah hamba menjadi Mujahidah
Dan mati hanyalah sekali, izinkan hamba menjadi Syahidah
Amin